banner yusuf
DUA tahun setelah tragedi WTC 11 September 2001, saya diundang sebuah organisasi mahasiswa Islam untuk memperingati sekaligus merefleksikan makna di balik kejadian itu. Saya panel dengan seorang intelektual dari organisasi itu, yang terang-terangkan dikenal mengaji di Rausyan Fikr. Organisasi berjubah intelektual di Yogyakarta yang giat mengkaji filsafat dan politik Islam ini di kemudian hari melebur dan mengubah nama menjadi Ikatan Jamaah Ahlubait Indonesia (IJABI)—cabang resmi Syiah di tanah air kita.
Sekadar mengutip Khomeini atau Syariati diselingi tokoh filsafat Inggris, Prancis ataupun Jerman, sudah biasa dilakukan aktivis organisasi mahasiswa itu. Tapi, mereka melakukannya sekadar hasil refleksi bacaan. Secara keyakinan dan iman, saya tahu mereka belum tentu menerimanya, termasuk Syiah. Nah, lain halnya dengan kawan panelis saya; dia betul-betul tampil kaaffah menyitir dan mewakili pikiran para ulama dan.atau intelektual Syiah. Rumor bahwa yang bersangkutan seorang Syiah sudah lama saya dengar dari teman-teman di UGM.
Bisa dibedakan antara pengkaji yang ‘genit’ bermain mata dengan teks Syiah dengan pengkaji yang memang dari internal Syiah. Sepintas sama-sama militan, terlebih di usia muda maka kawan sepanel tadi begitu menggebu menyampaikan gagasan banyak tokoh terkemuka Syiah di forum untuk menilik dan menuding Al-Qaeda selaku ‘tersangka’ kejadian WTC. Termasuk juga mengupasi ‘wahabi’ dari sudut pandang pemikir Syiah. Bagi pengkaji, kedalaman filosofis gagasan pemuka Syiah biasanya kurang terasa; lain halnya bagi yang sudah menjadi bagian dari Syiah, mereka akan bisa merasakan getaran yang dituliskan Syariati, Muthahari, ataupun yang lainnya.

Baca artikel  selengkapnya di HARI KARBALA tafhadol
Sayangnya, terkadang militansi untuk mengekspresikan kesyiahan itu tampak berlebihan dan tidak adil. Mungkin karena saat itu kawan diskusi masih kader muda hingga pemurnian pemikiran Syiah terasa ingin dijaga. Tidak ada satu pun kutipan dari tokoh Sunni. Semua ucapannya mengutip kalangan Syiah atau filosof di luar Islam. Saya yakin, dia bukan tidak paham para filosof Muslim klasik Sunni macam Ibnu Rusyd, atau pemikir semacam Muhammad Abduh dan Naquib al-Attas. Dari mereka bukan tidak ada catatan seputar radikalisme sebagian umat Islam. Pertanyaannya, mengapa yang dipakai untuk menyigi kejadian kadang dipaksakan ari bukan-Islam meski soal tersebut acap dibahas pemikir Muslim (Sunni)?
Menghadapi agresivitas kawan panel tadi, saya harus bertaktik. Alhamdulillah, Allah menguatkan niat saya agar kawan tadi tidak menguasai forum dan mencaci ‘wahabi’ dan Sunni kendati secara tersirat sekalipun. Memojokkan kenaifan umat Islam dengan tilikan tokoh Syiah jelas sebuah penghinaan tersendiri dan ini tidak bisa didiamkan. Seakan-akan lain halnya respons umat Syiah saat diserang Barat (baca: Amerika dan Eropa) yang memilih elegan alih-alih kekerasan ala Al-Qaeda.
Maka, setiap dia pamer kutipan—dan di forum itu sang kawan persis seperti buku berjalan ‘quote’ pemuka Syiah—saya menutupi dengan tokoh Sunni. Karena daras saya banyak bersentuhan dengan para pemikir Ikhwan, saya cukupkan dengan jujur dari harakah ini. Tentu saja ini bukan berarti saya menutup kehebatan pemikir dan/atau tokoh di luar Ikhwan.
Ketika kawan tadi menggiring forum untuk militan dengan perspektif Khomeini, saya perlunak dengan Hasan al-Banna. Saat dia menggebu bak cendekiawan Syariati, saya tahu dia ingin menampilkan wajah ‘kelebihan Syiah’ andai diposisikan senasib negara Arab (Sunni), dan di sini saya cukup sodorkan analisis Sayyid Quthb. Jangan sampai kesan di forum martir dalam revolusi hanya sosok semacam Syariati; bahkan Sayyid Quthb mengatasi semua ‘derita’ yang dialami Syariati akibat tertelikung faksi mullah dalam revolusi.
Untuk mendapatkan simpati forum, bahwa Syiah penuh keteduhan, sang kawan memperlihatkan kerangkan berpikir Murthada Muthahhari. Saya baca beberapa karya sang mullah, dan saya terlintas saja mengajukan nama Said Hawwa yang bernas ulasannya soal serupa meski dari sisi filosofis tidak semenguasai Muthahhari dalam mengkritik peradaban Barat. Tapi, Said Hawwa adalah wakil kejujuran dan berotoritas jelaskan kerja-kerja hati. Dalam soal ini, saya masih melihat Hawwa lebih meneduhkan dari bahasan serupa tokoh yang digadang-gadang sang kawan.
‘Perang kutipan’ di forum sengaja saya lakukan untuk meladeni agar forum tidak menjadi langit yang bertaburan bintang tokoh Syiah. Meski saya sekadar tamu dari forum itu, rasanya saya tidak bisa menjaga marwah Islam manakala peserta yang banyak kalangan aktivis Islam lebih mengenal Khomeini, Syariati, Muthahhari, ketimbang tokoh lain dari jantung Sunni. Jangan sampai keinginan kawan Syiah untuk mengunggulkan kelompoknya dan ‘teror’ kutipan membuat forum terkesima; pun demikian dengan para panelis.
Berbekal ilmu ‘ala kadar’ tapi berniat agar Islam tidak ditertawakan pendukung Syiah, setiap ikhtiar kita insya Allah ditolong Allah. Dalam kejadian di atas, saya tidak menyiapkan taktik ketika berhadapan dengan kawan cerdas tadi yang saat debat Pemilihan Presiden 2014 lalu itu jadi moderator. Di tengah jalan, saya seperti mendapat ilham sebuah taktik lawan diskusi dan bagaimana menangkalnya. Dari situ saya paham, berhadapan dengan aktivis Syiah jangan hanya bermodalkan keyakinan keislaman kita; kita juga butuh ilmu, keberanian, dan doa kepada Allah disertai kerendahan hati. Mengapa? Syiah sering bermain dengan alat retorika, kuatnya bacaan filsafat, dan isu akhlak.
Teringat saya dengan kejadian di Kota Pelajar saat seorang akhwat mencela Syiah lalu dengan gagah berani menantang kawan Syiahnya (seorang pria). Debat keduanya bertaruhkan tidak main-main: yang kalah akan ikut keyakinan pemenang. Militansi tanpa paham medan dan senjata itu berbuah pahit bagi teman-teman si akhwat; dia kalah debat dan akhirnya bersedia ikut bahkan mau dinikahi kader Syiah tersebut. Sebuah pelajaran berharga untuk tidak bergegas latah. []
Axact

Axact

Vestibulum bibendum felis sit amet dolor auctor molestie. In dignissim eget nibh id dapibus. Fusce et suscipit orci. Aliquam sit amet urna lorem. Duis eu imperdiet nunc, non imperdiet libero.

Post A Comment:

0 comments: