Cuplikan ”In the Bazaar of Sexes”, sebuah film dokumenter tentang nikah mut’ah di Iran

Oleh: Ma’mun Affany, Anggota Manajemen Penulis Indonesia
AJARAN Syiah yang berkaitan dengan perempuan dan banyak dikenal oleh masyarakat umum adalah nikah mut’ah. Pernikahan yang dilakukan dengan sebuah akad namun berlangsung dalam waktu yang sudah ditentukan (temporal), bisa satu hari, bahkan satu jam saja. Secara logika pasti sudah dapat menyimpulkan bahwa hal demikian tak ubahnya pelacuran. Namun demikian ajaran ini justru dilegalkan bahkan dianjurkan. Dan ternyata hal ini hanyalah sebagian kecil dari bagaimana cara Syi’ah memandang perempuan.
Dalam Syiah, perempuan dianggap tidak hanya lemah, namun dianggap semakin buruk jika usia semakin bertambah. Imam as-Shadiq sendiri menyatakan bahwa, “Sesungguhnya wanita jika semakin tua akan hilang kebaikannya, dan yang tersisa hanyalah keburukan-keburukannya.” (Radhi-ad Din al-Hasan bin al-Fadh at-Thibrisi, Makarimul Akhlaq). Oleh sebab itu bagaimanapun perempuan akan selalu dianggap rendah dalam ajaran Syiah.
Lebih jauh lagi Syiah hanya menganggap bahwa perempuan tak ubahnya hanya mainan laki-laki yang bisa diperlakukan sesuka hati. Mau dijadikan budak, pelacur, atau gudik tidak masalah. Hal ini disimpulkan dari jawaban Abu Abdullah ketika ditanya seseorang yang mengumpulkan istrinya dengan budaknya, Ia menjawab, “Tidak mengapa seorang laki-laki tidur dengan dua budaknya atau dua istrinya, karena wanita-wanita kalian hanyalah berkedudukan sebagai mainan saja (bagi laki-laki) (Al Kulaini-Furu al-Kafi). Maka tidaklah mengherankan jika dalam ajaran Syiah nikah sementara seperti layaknya pelacuran diperbolehkan mengingat perempuan hanya sebatas mainan saja.
Bahkan sebenarnya Syiah tidak sebatas menjadikan perempuan sebagai sebuah mainan. Namun secara jelas disebutkan bahwa Syiah mendudukkan perempuan hanya sebagai pelacur. Dikisahkan ada seseorang yang bertanya kepada Abu Ja’far,
“Seorang laki-laki nikah mut’ah dengan seorang wanita dan habis masa mut’ahnya lalu dia dinikahi oleh orang lain hingga selesai masa mut’ahnya, lalu nikah mut’ah lagi dengan laki-laki yang pertama hingga selesai masa mut’ahnya tiga kali dan nikah mut’ah lagi dengan tiga laki-laki apakah masih boleh menikah dengan laki-laki pertama?” Zurarah bertanya.
Abu Ja’far menjawab, “Ya, dibolehkan menikah mut’ah beberapa kali sekehendaknya, karena wanita ini bukan seperti wanita merdeka, wanita mut’ah adalah wanita sewaan, seperti budak sahaya”.( Muhammad bin al-Hasan al-Hurri al-Amili, Tafshil Wasail as-Syi’ah ila Tahshil Masail as-Syar’iyah)
Dari dialog tersebut sangat jelas bahwa hubungan antara perempuan yang dimut’ah dengan laki-laki hanyalah seperti pelacur dan pelanggannya. Padahal nikah mut’ah adalah salah satu ajaran Syi’ah, artinya semua wanita yang menganut Syi’ah juga bersifat seperti budak dan pelacur.
Hal ini tak ubahnya dengan mengatakan, “Jika pelacur melayani laki-laki dan sudah habis durasinya, kemudian dipesan oleh orang lain sampai selesai juga durasinya, kemudian pelanggan yang pertama datang lagi dan memesan lagi sampai tiga kali, kemudian melayani tiga laki-laki lain, apakah boleh menerima kembali pelanggan yang pertama?” jika diamati maka yang membedakan hanya sebatas nama saja, nikah mut’ah dan pelacuran, namun esensinya sama.

Baca artikel  selengkapnya di HARI KARBALA tafhadol
Jika mengira perempuan yang boleh dinikahi mut’ah adalah perempuan dewasa, maka dugaan tersebut tidak benar. Dalam ajaran Syiah, nikah mut’ah dengan anak kecil tidak dilarang. Bahkan Imam al Khomaini sendiri pernah melakukan. Sayyid Husein al Musawi salah seorang pembantunya menceritakan tentang kejadian bagaiman sang Imam melakukannya terhadap anak kecil penganut Syiah.
Ketika ditanya oleh pembantunya tentang perbuatan tersebut, sang Imam menjawab, “Sayyid Husain, sesungguhnya mut’ah dengan anak kecil itu hukumnya boleh, tetapi hanya dengan cumbuan, ciuman dan himpitan paha. Adapun jima’, maka sesungguhnya dia belum kuat untuk melakukannya.”(Sayyid Husein al-Musawi, Lillahi.. Tsumma Li Tarikh).
Dalam hal ini Syiah lebih tidak manusiawi dibandingkan dengan pelacuran. Anak kecil dinikah mut’ah yang kemudian kembali berpisah setelah selesai masa mut’ahnya. Anak kecil belum mengerti tentang hubungan seksual, namun sudah dirusak masa depannya. Rasanya ajaran yang demikian tidak mengajak kepada kebaikan, namun justru keburukan.
Oleh sebab itu wajar jika kolumnis Fathemah Sadeghi menulis di Tehran Bureau tentang pelacuran berbalut ajaran tersebut dengan kalimat “Temporary Marriage as Exploitation”. (9 Januari 2010). Bahkan penduduk Iran yang mengidap HIV/AIDS mencapai 20.000, 3.400 di antaranya sudah meninggal. Tentu saja penyebab besarnya adalah gonta ganti pasangan.
Jika ditelaah, maka hal ini sangat bertolak belakang dengan apa yang termaktub dalam al Qur’an. Dalam al Qur’an dijelaskan bahwa antara laki-laki dan perempuan tidak ada yang lebih unggul, tidak ada pemahaman salah satu pihak (laki-laki) menikmati pihak yang lain (perempuan), atau bahkan menindas. Namun justru laki-laki dan perempuan menjadi penolong antara satu dengan yang lainnya. Menjadi pelengkap antara satu dan lainnya. Bahkan secara jelas diminta untuk saling menyuruh mengerjakan yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar. (QS. 9:7). Dengan kata lain, ini bukanlah ajaran Islam, dan Syiah bukanlah bagian dari Islam. []
*Intisari dari makalah “Kedudukan Wanita dalam Perspektif Syi’ah” oleh Harisman, peserta Program Kaderisasi Ulama VIII Gontor.
Axact

Axact

Vestibulum bibendum felis sit amet dolor auctor molestie. In dignissim eget nibh id dapibus. Fusce et suscipit orci. Aliquam sit amet urna lorem. Duis eu imperdiet nunc, non imperdiet libero.

Post A Comment:

0 comments: