“SAYA sering berjumpa,” tulis Prof. DR. H.M. Rasjidi, “dengan orang-orang yang terkenal sebagai keturunan keluarga nabi (Ahlul Bait) seperti almarhum Sayyid Rasyid Ridla, murid Syeikh Muhammad Abduh; Amien al-Husaini, Mufti Palestina, keturunan Husein Ra. Tetapi mereka tak pernah menonjol-nonjolkan soal keturunan mereka.”
Baca
artikel selengkapnya di HARI KARBALA tafhadol
Dalam alinea selanjutnya di buku Apa Itu Syi’ah? (1986, Cet.2), mantan Menteri Agama yang dekat dengan almarhum Raja Faisal ini menuliskan, “Dengan sikap seperti itu ummat Islam akan menghargai orang-orang semacam beliau tadi. Mungkin dengan penghargaan yang lebih.”
Dengan tebal buku (risalah) tidak lebih dari 60 halaman, Rasjidi bukanlah orang yang asal bunyi ketika bicara Syiah. Lelaki kelahiran Kotagede, Yogyakarta, ini menguasai peranti keilmuan Islam, termasuk sejarah perkembangan pemikiran dan teologi. Maklum saja, Rasjidi jebolan Fakultas Filsafat dari Mesir dengan doktoral dari Sorbonne, Prancis. Belum lagi pergaulannya yang luas dengan tokoh-tokoh intelektual Muslim dunia semisal dua nama di atas.
Sebelum Revolusi Iran di bawah pimpinan Khomeini, Rasjidi pernah bermukim di sana, yakni semasa menjabat duta besar. Karena itu pula, Rasjidi mengenal betul figur-figur Syiah. Menariknya, ada salah satu tokoh Iran (Syiah) yang tidak begitu menyibukkan diri soal sebutan Ahlul Bait.
“Bahkan belum lama ini saya bertemu di suatu negeri Arab, seorang pemimpin Iran yang bersurban hitam. Dengan bergurau beliau berkata: ‘Saya dianggap orang sebagai keturunan Nabi. Saya sendiri tidak tahu. Saya tidak pernah memikirkan hal semacam itu’.”
Seperti interaksi wajar antara Rasjidi dan tokoh Iran, relasi Sunni (Indonesia) dan Syiah (Iran) memang tidak masalah. Kalaulah seorang profesor sejarawan dari UIN Jakarta menyebut, “Dulu tidak pernah ada konflik antarmazhab (baca: Sunni-Syiah) di Indonesia karena Islam Indonesia adalah Islam yang damai dan toleran”, memang benar. Sayangnya, pernyataan sang profesor yang dikutip oleh seorang kolega di kampusnya yang merupakan pentolan Syiah Indonesia, tidaklah akurat sepenuhnya.
Syiah sudah hadir semasa Indonesia masih bernama Hindia Belanda, atau bahkan kerajaan-kerajaan Nusantara, boleh jadi fakta. Mungkin ada peranan mereka bagi kemajuan bangsa ini, atau setidaknya bukan menjadi bagian dari kaki tangan penjajah. Yang menjadi perhatian bersama adalah ketika Syiah yang hadir di Indonesia adalah paket impor ideologi seusai Khomeini dan pendukungnya memenangi Revolusi Iran melawan keluarga kerajaan di akhir dekade1970-an.
Syiah yang hadir sejak 1980 hingga kini patut dikritisi apakah serupa dengan Syiah di Nusantara era kolonialisme. Doktrin teologi boleh jadi sama di kurun beda itu, tapi motivasi politik dan penetrasi ideologi teramat gegabah bila disimpulkan sama pula. Syiah pasca-Revolusi Iran praktis berwajah ekspansif dan ingin menempatkan hegemoninya. Tidak terkecuali di Republik Indonesia.
Kalaulah wajah toleransi Syiah era revolusi sama dengan Syiah yang dianut sebagian kecil warga Hindia Belanda, tentu orang semacam Rasjidi tidak tergerak mengangkap pena menjelaskan kesamaran yang rentan menghadirkan fitnah. Apatah lagi buku yang disebut di atas, dimaksudkan untuk melengkapi karya sahabatnya, Yusuf Abdullah Puar, yang berjudul Revolusi Iran Tak Serasi bagi Negeri Muslim Sunni. Tulisan Rasjidi, sebagaimana Yusuf Puar, awalnya dimuat di harian Pelita. Menariknya, saat dimuat, Rasjidi sudah mendapatkan ancaman.
Masa itu, 1980-an, banyak anak-anak muda yang terobsesi dengan Revolusi Iran. Banyak yang sekadar mengambil ideologi perlawanannya belaka (semisal dari tokoh intelektual Ali Syariati), tapi tidak sedikit yang kemudian hari (hingga kini) memilih konversi iman menjadi Syiah. Protes hingga surat ancaman diterima Rasjidi gara-gara menuliskan soal Syiah. Padahal, yang ditulisnya ‘biasa-biasa’ saja. Tidak sampai ada yang menguliti detail kitab induk Syiah macam di buku Teologi dan Ajaran Shi’ah Menurut Referensi Induknya oleh Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, dkk (2014). Bahasan yang bisa menyulut amarah publik soal penghinaan Syiah pada sahabat dan istri-istri Nabi juga permukaan saja. Itu saja sudah bikin berang sebagian pihak.
Kalaulah hari ini ada sebagian anasir umat Islam (Sunni) ‘dikerjai’ oleh kalangan terindikasi Syiah, ini bukan kabar baru. Pertengahan 1980-an Syiah di Indonesia masih sebatas euforia di kalangan kampus; mereka inilah yang militan. Hari ini, figur-figur yang dikenal mengaku terus terang sebagai Syiah, atau sekadar berpura-pura bukan-Syiah, hingga yang ‘hanya ingin’ disebut pelurus stigma soal Syiah sudah dalam posisi yang strategis. Dari wakil rakyat, penulis, hingga akademisi, sudah direngkuh.
Karena itulah, amat tidak adil dan menutupi fakta lanjutan ucapan profesor sejarah yang dikutip tadi, “Pascareformasi, agama kemudian menjadi bagian dari manipulasi politik oleh pihak-pihak yang ingin mencari pengikut sebanyak-banyaknya”, ketika ditujukan pada kalangan ormas Islam (Sunni). Harusnya, sang profesor juga menyentil Syiah, yang memang getol membendung arus ‘wahabisme’. Kalau ‘wahabi’ dimasukkan sebagai “mencari pengikut sebanyak-banyaknya”, mengapa Syiah tidak? Seolah-olah Syiah hanya korban dan objek pasif!
Selagi difondasi dengan teologi dan/atau ideologi 2D—dendam dan dusta—rasanya berat mengakurkan Syiah dengan umat Islam di tanah air tercinta. Apologi cinta NKRI dan pluralisme terdengar seperti mencampur alkohol 90 persen di air zam-zam lantas disebut minuman halal bilamana ada kalangan yang masih sukar melupakan dendam atas sejarah yang hanya diyakini benar menurut versinya. Saat yang sama, acap kali menjadikan fakta yang irasional dan perlu diverifikasi sebagai kebenaran absolut. meminta pihak lain (mayoritas pula!) untuk hormati mereka, tapi mereka sendiri masih enggan untuk bertindak tulus dan jujur.
Kalaulah Syiah ingin mendapatkan penerimaan di sini, ideologi Khomeinisme kiranya perlu dibuang. Jangan hanya pintar beretorika ‘ganyang wahabi; sikat ISIS’, sementara ideologi sendiri (Syiah) luput disterilkan dari motif terselubung yang—menilik sejarah—sering amat merepotkan negara yang ditumpangi. Cukup seperti leluhur mereka di Nusantara yang bisa hormati keyakinan mayoritas Muslim di sini. Silakan berjuang bersama-sama memajukan tanah pijakan mereka tanpa ada ambisi untuk menjadikannya pijakan baru Imam Ternanti. Tegasnya, bukan malah sibuk menyiapkan subversi untuk mengganti Pancasila yang bersendikan Tauhid, dengan ideologi imamiyah yang berkiblatkan Iran.
Kalau mau Muslim rukun dengan Syiah, tidaklah patut menyalah-nyalahkan selalu kalangan yang selama ini dicaci keyakinannya. Syiah mestinya tahu diri. Sayangnya, jubah 2D begitu menguat, yang tampaknya utopia belaka, sebab itulah cara mereka menanti Sang Imam Terpilih. Sayangnya, ketika ada upaya mengingatkan dengan sekadar membuat spanduk, langsung amarah hadir dari yang dituju; bahkan cendekiawan yang bukan bidangnya pun ikut-ikutan mengecam dengan mengatakan orang-orang yang memasang spanduk tersebut “orang yang sakit jiwa”.
Sungguh memerikan hati bagi yang berhati nurani, sudahlah terbiasa dengan dendam dan dusta, ketika dzalim, malah dibela. Yang semacam ini justru bukan lagi laten, melainkan jelas-jelas siap merongrong NKRI. []
Post A Comment:
0 comments: