Dina Sulaeman/Foto: dinasulaeman.wordpress.com
Oleh: Khadija, Ibu Rumah Tangga
RABU malam (11/2/2015) perkampungan Majelis Az-Zikra di kawasan Sentul, Bogor, Jawa Barat, dikabarkan diserang oleh 30 orang pimpinan Ibrahim Al Habsyi dari Tangerang. Penyerangan dipicu oleh kemarahan kelompok itu yang tidak terima spanduk anti-Syiah dipasang di kampung yang dibentuk oleh seorang pendakwah terkenal, Ustadz Arifin Ilham. Beberapa hari kemudian, seorang penulis wanita bernama Dina Y. Sulaeman membuat surat terbuka di blognya (16/2/2015) dengan judul “Surat Terbuka Untuk Ustadz Arifin Ilham”, yang digemakan ke sejumlah media online. Isi surat itu menanggapi seruan Ustadz Arifin Ilham: “Mari kita jihad melawan Syiah!”
Membaca surat tersebut, saya –seorang wanita biasa yang tidak memiliki gelar akademik seperti Ibu Dina, yang sedang menempuh S3– merasa tertarik untuk membuat beberapa catatan.
Pertama, Ibu Dina membuka suratnya dengan mengingatkan Ust. Arifin Ilham akan konflik di Libya dan Suriah. Paparan panjang itu menunjukkan pengetahuan penulisnya yang begitu luas tentang isu internasional. Ini tidak mengherankan, sebab beliau adalah seorang kandidat doktor bidang hubungan internasional. Dari paparan itu penulis surat tampak ingin mengingatkan bahaya ajakan “jihad melawan Syiah” yang diserukan Ust. Arifin Ilham, karena dianggapnya dapat memicu konflik sektarian (antar kelompok/golongan) dalam masyarakat yang akibatnya justru akan menyusahkan warga sendiri, terlebih jika sampai terjadi perang seperti di Libya dan Suriah.
Kedua, mengenai konflik di Libya, Suriah dan Timur Tengah. Banyak orang sepakat dengan general idea yang mengatakan bahwa konflik di Timur Tengah sebenarnya adalah makar dari Amerika Serikat dan negara Barat yang ingin menguasai sumber minyak dan gas dunia, serta melariskan dagangan senjatanya. Pasar negara penghasil peralatan perang tercipta dengan adanya konflik bersenjata, baik itu sektarian maupun non-sektarian. Bagaimana kemudian makar itu diolah dan dikelola sedemikian rupa sehingga tampak ‘alami’, itulah yang kemudian membingungkan orang awam.

Baca artikel  selengkapnya di HARI KARBALA tafhadol
Secara lahiriyah, kepemimpinan seorang Bashar Al-Assad lebih pantas untuk didongkel dibanding Muammar Qadhafi. Assad, selain tidak memberikan kemakmuran kepada rakyatnya, dia memerintah secara tangan besi dan sektarian, mengutamakan kelompok suku dan aliran kepercayaannya sebagai seorang penganut Syiah Alawi. Sedangkan Muammar Qadhafi –yang dicap sebagai musuh besar Barat karena suara lantangnya menentang Amerika dan sekutunya– sebenarnya lebih memberikan kemakmuran nyata bagi rakyatnya. Rezeki Libya diakui menjadi berkah para pekerja dari berbagai negara pelosok Afrika, sehingga mereka dapat menghidupi keluarganya di kampung halaman. Dan tak dipungkiri rezeki itu sampai ke Indonesia, termasuk kabarnya, ke kampung Az-Zikra.
Oleh sebab itu sungguh membingungkan, terutama bagi orang awam, mengapa pemimpin yang menghadirkan kesejahteraan bagi banyak orang justru mati secara terhina, dibunuh oleh penentangnya. Sementara itu, seorang kepala negara yang jelas kejam terhadap rakyat yang di luar kepercayaan yang dianutnya (Syiah Alawi) hingga kini masih bercokol, bahkan mendapatkan banyak dukungan, hal ini tentu saja tidak logis.
Bagaimana para warmonger (penghasut perang) bekerja menciptakan pasar untuk senjatanya dan menguasai sumber energi dunia, prakteknya bisa dilihat pada konflik sekitar 15 tahun terakhir dari Afghanistan hingga ke Timur Tengah. Mereka, para pemicu perang, senantiasa menggulingkan pemerintahan negara targetnya yang dianggap tidak mau diajak kompromi.
Pemerintah Taliban di Afghanistan digulingkan dengan diawali sebuah skenario peledakan gedung World Trade Center di New York tahun 2001. Dengan bendera “melawan terorisme” warmonger dunia, Amerika Serikat, memburu orang-orang yang mereka labeli sebagai teroris hingga ke gunung-gunung bersalju dengan drone (pesawat tanpa awak). Hasilnya, korban sipil yang tewas lebih banyak dibanding korban peristiwa 9/11.
Sementara itu di Kabul, AS menempatkan anteknya di kursi pemerintahan dan parlemen, lewat jalan “demokratis” pemilihan umum. Siapa antek di Kabul itu? Mereka adalah kaum suku dan kelompok yang membantu pasukan Amerika ketika menjejakkan kakinya di Afghanistan –yang tentunya musuh Taliban dan kelompok yang tidak sepaham. Seiring dengan itu di berbagai wilayah Afghanistan, pasukan AS dan sekutu menjaga ladang migas dan mineral, serta sumber daya alam berharga lainnya. Faktanya, di era Taliban ladang tanaman opium berkurang drastis, selama invasi AS dan sekutu ladang opium justru semakin luas dan dijaga tentara asing bersenjata lengkap.
Di Irak, AS dan sekutunya menggunakan taktik hampir mirip. Kelompok-kelompok anti-Saddam Hussein didekati lebih dahulu sebelum pasukan Amerika menginvasi Irak tahun 2003, dengan alasan “diktator” itu menyimpan senjata pemusnah massal. Bukannya menemukan dan menunjukkan kepada dunia senjata pemusnah massal itu, AS justru memburu Saddam dan para pendukungnya hingga ke lobang-lobang persembunyiannya.
Saddam Hussein, seorang Muslim (Sunni), lalu diserahkan kepada kelompok oposisi yang kemudian menggantungnya di tiang gantungan. Siapa yang hadir dalam eksekusi itu dan meneriakkan kemenangan? Tidak lain para pemimpin Syiah Irak yang sebagian menutupi wajahnya agar tak tertangkap kamera, termasuk Muqtada Al-Sadr. Maka, lahirlah diktator baru di Irak yaitu seorang politisi Syiah bernama Nuri Al-Maliki. Kediktatoran Maliki bahkan membuat marah pemimpin Kurdi, Massoud Barzani, sampai harus mengadukannya langsung ke Presiden AS Barack Obama.
Kurang puas di kedua negara itu, AS dan sekutu mencari lahan konflik baru dengan menunggangi Arab Spring (gelombang revolusi unjuk rasa dan protes yang terjadi di dunia Arab). Di Tunisia, Arab Spring ‘rasa original’ berlangsung nyaris mulus, suksesi dari rezim yang dibenci rakyat ke pemerintahan selanjutnya tidak menimbulkan konflik bersenjata. Namun,Arab Spring yang dibumbui campur tangan asing di Mesir, Libya dan Suriah, menyisakan konflik dalam masyarakat, dari ringan hingga malapetaka.
Mesir beruntung. Masyarakat negeri itu kerap baku-hantam hingga nyawa melayang hanya gara-gara sepakbola, tetapi sampai sekarang belum ada perang sektarian. Meskipun, tidak sedikit terjadi bentrokan antar kelompok warga pasca digulingkannya rezim Husni Mubarak oleh rakyat dengan bantuan Google (silahkan baca di media bagaimana Google berperan membantu demonstran di Mesir dalam menggalang kekuatan). Mesir beruntung lagi, karena di sana ada Al-Azhar, lambang kemenangan akidah Islam yang lurus atas pemahaman Syiah dari era Dinasti Fathimiyyah, dan lembaga yang disegani rakyat sehingga memiliki efek menenangkan.
Sedangkan Libya sungguh merana. Setelah pemimpinnya dibunuh oleh orang-orang yang menentangnya, dengan bantuan serangan udara AS dan sekutunya, kini negeri itu porak-poranda tanpa pemerintahan dan hukum yang jelas. Pihak yang mengeruk untung dari kekacauan dan kehancuran infrastruktur di negara itu adalah juragan minyak dan kontraktor bangunan, serta perusahaan-perusahaan dari Amerika dan negara sekutunya. Siapa pembunuh Qadhafi? Dari penelusuran foto atas sosok seorang pria pemegang senjata api terbuat dari emas milik Qadhafi di lokasi pembunuhan, diketahui bahwa orang itu adalah agen mata-mata Prancis, yang berarti ada tangan asing bermain di sana. Prancis adalah sekutu dekat Amerika, negeri di mana populasi orang Yahudi minoritas tetapi memiliki pengaruh sangat besar di pemerintahan seperti halnya Yahudi di AS.
Di Suriah, Amerika dan sekutu memakai taktik lain, yaitu dengan menunggangi gelombang Arab Spring yang bermula dari aksi protes masyarakat atas kekejaman aparat rezim Bashar Al-Assad yang menyiksa para remaja pelajar pembuat grafiti anti-pemerintah. Rezim Syiah Nushairiyah pimpinan Bashar tidak menggonggong Amerika. Kalau toh ya, tidak dianggap berbahanya.
Rezim Bashar adalah teman baik dari rezim di Irak pasca Saddam, yang ketika konflik di Suriah pecah masih dipimpin Nuri Al-Maliki. Bashar dan Maliki adalah sekutu rezim di Iran, negara Syiah yang sedang berunding perihal nuklir dengan Washington dan negara Barat. Perlu diketahui, dalam pertemuan-pertemuan pejabat Teheran dengan Washington, pemerintah Syiah Iran mengajak serta tokoh Yahudi –yang seperti di Prancis dan Amerika, di Iran adalah minoritas, tetapi diakui eksistensi dan peran pentingnya oleh pemerintah. Ini membuktikan kartu Jewish Lobby (lobi Yahudi) laku dimainkan (lebih lanjut silahkan kaji sejarah panjang hubungan Syiah dengan Yahudi, serta eksistensi dan peran Yahudi di Iran).
Tentara Iran dan Hizbullah membantu rezim Assad ikut berperang di Suriah dan Iraq, sebagaimana akhirnya pada hari Senin (16/2/2015) diakui sendiri oleh Hassan Nasrallah, pemimpin organisasi Syiah Libanon itu yang selalu bersembunyi dari publik karena banyak menerima ancaman pembunuhan. Tetapi mereka tidak dicap dengan label-label buruk seperti yang diberikan media dan negara Barat kepada kelompok penentang rezim Assad.
Sampai di sini kita dapat menarik benang merah konflik di Afghanistan dan Timur Tengah. Jika pemerintahan itu sekuler dan pro-Barat atau Syiah, maka tidak akan diusik berlebihan dan Amerika tidak menampakkan wajah sangarnya kepada mereka. Tetapi, jika pemerintahan itu Muslim dan tidak disukai Amerika, label diktator, teroris dan sejenisnya akan dilekatkan kepada mereka. Seperti dikatakan dalam surat Ibu Dina, Amerika Serikat tidak suka dengan pemerintahan yang ‘keras kepala’ dan ‘tidak bisa diatur’.
Dan patut diingat, sejarah membuktikan bahwa otak kolonial Amerika dan negara Eropa sekutunya tidak pernah hilang.
Ketiga, tentang jihad, mujahid dan syahid. Sederhananya, jihad secara bahasa bermakna mengerahkan segala potensi dengan ucapan dan perbuatan. Pelakunya disebut mujahid. Mujahid yang meninggal ketika berjihad disebut mati syahid. Tipikal orang Barat, non-Muslim dan orang yang belum tahu/paham dan tidak mau tahu, selalu mengidentikkan dan menyederhanakan jihad dengan perang dan kekerasan. Akhirnya, secara umum jihad dimaknai sebagai salah satu jenis kejahatan, bahkan kriminalisme dan terorisme.
Sekarang dalam konflik di Suriah, mujahid (Inggris: jihadits) diidentikkan dengan orang-orang yang berperang melawan rezim Bashar Al-Assad, anggota ISIS, serta Muslim beraliran keras (Barat punya istilahhardliner/radical/extrimist dan moderate untuk kategorisasi Muslim). Dan sayangnya, tidak sedikit Muslim yang terjebak dengan pengertian menyimpang dari istilah-istilah itu, sehingga alergi dengan bahasan seputar jihad.
Sesungguhnya, istilah syahid (dalam bahasa Persia juga syahid) dan mujahid pun dipakai oleh orang-orang Iran ketika menyebut kematian tentara Garda Revolusi –pasukan elit kebanggaan negara Syiah Iran– yang tewas dalam menjalankan tugas membantu rezim Assad. Penggunaan istilah tersebut pastinya diketahui benar oleh Ibu Dina, yang pernah tinggal di Iran dalam rangka mencari ilmu (S2) dan mencari makan bersama suami dan keluarga.
Keempat. Dalam suratnya kepada Ust. Arifin Ilham tersebut Ibu Dina menulis sebagai berikut:
“… sejak saya aktif memberikan penjelasan tentang bagaimana sebenarnya konflik Suriah, saya tiba-tiba dimusuhi oleh kelompok-kelompok radikal pro-jihad Suriah. Dan tiba-tiba saja, seorang ibu rumah tangga seperti saya mendapat ‘kehormatan’ dinobatkan jadi “Tokoh Syiah Indonesia” oleh media-media pro-jihad Suriah, …”
Jika Ulil Abshar Abdalla –dilahirkan dan besar di lingkungan NU, serta pernah jujur mengakui kepada media bahwa dia menerima uang Rp1,4 miliar setahun dari Amerika Serikat– yang gemar kongkow di Utan Kayu dan tulisan-tulisannya jujur menebarkan faham Islam liberal sehingga kini dia disebut sebagai tokoh Jaringan Islam Liberal, maka julukan tokoh Syiah bagi Ibu Dina di kalangan orang-orang yang mengetahui buku-buku karya beliau sepertinya tidak mengherankan. Selain diterbitkan oleh penerbit yang dikenal dekat dengan Syiah, dari judulnya secara umum bisa diketahui penulis buku itu memiliki banyak informasi dan pengalaman di negeri Syiah Iran. Ambil contoh “Ahmadinejad on Palestine”“Journey to Iran: Bukan Jalan-Jalan Biasa” dan “A Note from Tehran”.
Mungkin, boleh dikatakan dari pemilihan tema itu Ibu Dina Sulaeman ingin menunjukkan ”bentuk jihad” yang dipilihnya kepada masyarakat Indonesia.*
Axact

Axact

Vestibulum bibendum felis sit amet dolor auctor molestie. In dignissim eget nibh id dapibus. Fusce et suscipit orci. Aliquam sit amet urna lorem. Duis eu imperdiet nunc, non imperdiet libero.

Post A Comment:

0 comments: