banner yusuf
DIA bukan ibu rumah tangga biasa. Wawasannya luas dan terkata berani. Sungguh, tidak berlebihan bila disebut pendukung fanatik, atau bahkan menganut taat, teologi Syiah. Ya, sebagai perempuan, dia tampak memajukan diri (mungkinkah justru ‘dimajukan’?) untuk menjadi juru bicara soal yang berkaitan dengan negara yang pernah berandil menempanya: Iran. Atas nama sebagai akademisi, persenyawaannya dengan status ibu rumah tangga serasa teduh.
Belum lagi kata-katanya yang terpilih meski belakangan ini dia terlampau bergegas untuk tampil membela teologi dan/atau ideologi politiknya. Soal Suriah, kampung Az-Zikra, hingga media-media penolak Syiah ditimpalinya. Karena punya modal intelektual dan sosial, analisisnya mendapatkan tempat. Tidak hanya dari satu jemaatnya, namun juga dari kalangan Muslim Sunni di tanah air. Terutama Muslim Sunni yang tidak menguasai dan fakir data soal konstelasi konflik di Timur Tengah. Saya perhatikan, anak-anak muda di media sosial kagum pada cara ibu tersebut menggunakan analisis geopolitiknya dalam membaca situasi di Suriah, Libya (dalam kasus menyurati Ustad Arifin Ilham), bahkan Indonesia.

Baca artikel  selengkapnya di HARI KARBALA tafhadol
Bagi yang melek data dan punya perangkat berpikir memadai, yang diperbuat ibu itu sebetulnya biasa-biasa saja. Bahkan, terkesan agresif demi membingkai motif terbungkusnya. Sehalus-halusnya seorang perempuan dengan kapasitas intelektual memadai, pada saat pembelaan teologi dan/atau ideologi begitu jumawa, terasa nuansa kelemahannya. Surat terbuka yang ditujukan kepada Ustad Arifin Ilham, yang kemudian disoraki penuh semangat oleh kalangan Syiah dan umat sekularis, sepintas tampillah bijak dan adil. Sayangnya, musabab dan akibat dalam kasus di kampung Az-Zikra dicampur-baurkan sedemikian rupa. Pemasang spanduk ditempatkan bak penjahat; sementara pelaku kekerasan (yang notabene diindikasi kuat pendukung Syiah), tidak dianggap melawan hukum.
Belum lagi soal ‘kesiapan’ sang Ustad Arifin untuk melawan Syiah yang dilihat sebagai sebuah ‘bahaya’, tanpa mau melihat konteks ucapan dan juga siapa pihak diserang dan penyerang.
Sudah menjadi tabiat pengusung teologi dan/atau ideologi 2D—dendam dan dengki—untuk selalu melebih-lebihkan fakta yang biasa saja ketika merugikan kepentingan mereka. Atau kerap pula membingkai fakta yang maksudnya A malah menurut mereka menjadi F. Intinya: dizalimilah mereka itu. Sempurna! seorang pendaku ibu rumah tangga tampil diutus jadi juru bicara untuk menarik simpati bicara penzaliman.
Hikmah dari penyerbuan kampung Az-Zikra ternyata membuka tabir kalangan yang selama ini berada pada ranah abu-abu soal Syiah. Atas nama pembelaan dan pelurusan, mereka yang selama ini diam atau malu-malu, mulai menampakkan wajah asli kesyiahannya. Atau paling tidak ingin menjadi pembela setia Syiah kendati secara status teologi dan syariat masihlah Sunni. Hanya saja, buat apa menabiki lagi ulama dan/atau intelektual yang masih loyal menjadi tameng Syiah bahkan saat penganut keyakinan ini jelas-jelas melawan kedaulatan hukum?
Sebagai ibu rumah tangga, sosok tadi mungkin ‘terpanggil’ untuk enggan bungkam atas ‘aniaya’ (versinya) kaumnya. Sayang, tabiat untuk mengomentari segala hal yang semestinya dia bisa diam, tidak bisa dilakukan. Karena menjaga hak selaku pemeluk loyal keyakinannya, dia pun beranjak untuk menuliskan catatan soal media-media islamis yang merugikan kaumnya. Boleh dan hak yang bersangkutan. Namun, ketika dendam dan dengki menjadi komoditas yang dipermainkan dan dijungkirbalikkan di depan khalayak, ini akan menegaskan kapasitas si pengucapnya. Mungkin karena kemantapan hati pada jalan hidup Syiah, dia pun seperti enggan mundur dari medan pertarungan wacana. Status dan posisinya sebagai ‘tokoh populer’ Syiah kadung menjerembabkan kakinya untuk terus membela.
Kepada orang-orang macam ibu rumah tangga ‘biasa’ itu, kepintaran beretorika dan berwacana cukuplah disodorkan pertanyaan sederhana. Berikan foto anak-anak dan perempuan Suriah yang menjadi korban kekejaman rezim Assad, lalu tanyakan apa tanggapannya. Kalaulah dia sumir mengomentari; atau malah menuding Al-Qaedah, ISIS, ‘wahabi, atau siapalah sebagai penyebab utama konflik, persaksikan bahwa orang tersebut tidak berhati nurani dan layak diragukan keimanannya pada tauhid murni yang dibawa Nabi Muhammad Saw.
Tidak perlu berbicara soal nurani korban kemanusiaan di Sampang kalau hanya selalu melibatkan kelompoknya saja tapi menolak membicarakan korban dari kalangan yang acap disesati bahkan dikafiri para imamnya di Qum sana. Tidak perlu mengajari objektivitas bila setiap yang menuliskan soal Suriah yang berbeda dari perspektifnya selalu dicap pendukung Al-Qaeda, ISIS, ‘wahabi’ dengan ejekan kata-kata “jihadis”. Jihad; sebuah kata yang suci dari Quran tapi dipergunakan dan tengah diperbuat—salah satunya—oleh ibu rumah tangga dari Bandung itu dengan semangat bertolak belakang. Menjengkelkan, bukan?
Tapi, sabar. Walau bagaimanapun riuhnya suara mereka, terhadap suara-suara militan kader Syiah nan menjengkelkan kiranya tiap Muslim kudu cerdas dan dingin. Provokasi tidak perlu dibalas dengan hal serupa, apatah lagi mereka memiliki imam tingkat Indonesia yang doktor komunikasi dan ‘sibuk’ di Senayan. Sandingi dengan fakta akurat dan kejujuran dalil, pada saat akhlak tengah alami krisis di teologi tersebut. Kehebatan kata-kata di media besar pembela mereka akan kehilangan tajinya bila ditanggapi dengan kuatnya fakta, sahihnya dalil, dan mulianya akhlak. Tinggal kini bagaimana kita, Muslim Indonesia mulai cerdas untuk tidak terperdaya retorika mereka. []
Axact

Axact

Vestibulum bibendum felis sit amet dolor auctor molestie. In dignissim eget nibh id dapibus. Fusce et suscipit orci. Aliquam sit amet urna lorem. Duis eu imperdiet nunc, non imperdiet libero.

Post A Comment:

0 comments: